Sunan Gresik
Matahari
baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin, Gresik, Jawa Timur. Rembulan
dan bintang giliran menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk desa
tampak ceria menyambut cuaca malam itu. Sebagian mereka berbincang
santai di beranda, duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar suara
gemuruh. Makin lama makin riuh.
Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di
perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan berkuda –berjumlah sekitar
20 orang. Warga Tanggulangin berebut menyelamatkan diri –bergegas masuk
ke rumahnya masing-masing. Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk
Penjalin. Ia berperawakan tinggi, kekar, dengan wajah bercambang bauk.
”Serahkan harta kalian,” sergah Penjalin,
jawara yang tak asing di kawasan itu. ”Kalau menolak, akan kubakar desa
ini.” Tak satu pun penduduk yang sanggup menghadapi. Mereka memilih
menyelamatkan diri, daripada ”ditekuk-tekuk” oleh Penjalin. Merasa tak
digubris, kawanan itu siap menghanguskan Tanggulangin.
Obor-obor hendak dilemparkan ke atap
rumah-rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu terhenti. Sekelompok
manusia lain, berpakaian putih-putih, tiba-tiba muncul entah dari mana.
Rombongan ini dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama terkenal yang
mulai meluaskan pengaruhnya di wilayah Gresik dan sekitarnya.
Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke
depan. Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji Penjalin.
Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang yang mengingatkannya sama
sekali tak dikenal di rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat,
terjadilah pertarungan seru. Penduduk Tanggulangin, yang melihat
pertempuran itu, rame-rame keluar, lalu membantu Ghafur.
Akhirnya, Penjalin dan pasukannya
kocar-kacir. Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur agar
membubarkan anak buahnya. Ghafur tak punya pilihan lain, ia harus
membunuh Penjalin. Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba wajahnya
diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali. Aneh, di puncak kemarahan itu,
ia malah melangkah surut.
Penjalin terperangah. ”Mengapa tak jadi
membunuh aku?” ia bertanya. Ghafur menjawab, ”Karena kamu telah
membuatku marah, dan aku tak boleh menghukum orang dalam keadaan marah.”
Mendengar ”dakwah” ini, disusul oleh perbincangan singkat, Penjalin dan
gerombolannya menyatakan tertarik memeluk agama Islam.
Petikan di atas merupakan satu dari dua
kisah populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana Malik Ibrahim,
yang juga dikenal sebagai Sunan Gresik. Satu cerita lagi yang kerap
ditulis pengarang buku-buku Maulana Malik Ibrahim adalah pertemuannya
dengan sekawanan kafir di tengah padang pasir.
Ketika itu, mereka hendak menjadikan
seorang gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa. Pedang sudah
dihunus. Sunan Gresik mendinginkan mereka dengan pembicaraan yang
lembut, kemudian memimpin salat Istisqa’ –untuk memohon hujan. Tak lama
kemudian langit mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu memeluk
agama Islam.
Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik
Ibrahim disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias wali pertama.
Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh Magribi, sebutan lain Sunan
Gresik itu. Ada yang mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan
Gujarat (India). Sumber lain menyebutkan ia lahir di Campa (Kamboja).
Setelah cukup dewasa, Maulana Malik
Ibrahim diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar merantau, berdakwah
ke negeri selatan. Maka, bersama 40 anggota rombongan yang menyertainya,
Malik mengarungi samudra berhari-hari. Mereka kemudian berlabuh di
Sedayu, Gresik, pada 1380 M. Mengenai tahun ”pendaratan” ini pun
terdapat beberapa versi.
Buku pegangan juru kunci makam Maulana
Malik Ibrahim, misalnya, mencantumkan tahun 1392. Beberapa naskah lain
bahkan menyebut tahun 1404. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa
Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota Gresik. Ketika itu,
Gresik berada di bawah Kerajaan Majapahit.
Dari sinilah Malik mulai meluncurkan
dakwahnya, dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian besar masyarakat
setempat ketika itu menganut Hindu, ”agama resmi” Kerajaan Majapahit.
Sunan melalukan sesuatu yang sangat sederhana: membuka warung. Ia
menjual rupa-rupa makanan dengan harga murah.
Dalam waktu singkat, warungnya ramai
dikunjungi orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya: membuka praktek
sebagai tabib. Dengan doa-doa yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti
mampu menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan menjelma menjadi
”dewa penolong”. Apalagi, ia tak pernah mau dibayar.
Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu,
Sunan Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup menerobos sekat-sekat
kasta. Ia memperlakukan semua orang sama sederajat. Berangsur-angsur,
jumlah pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah mereka makin banyak,
Sunan Gresik mendirikan masjid.
Ia juga merasa perlu membangun
bilik-bilik tempat menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah
yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Dalam mengajarkan ilmunya,
Malik punya kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab hadis di atas
bantal. Karena itu ia kemudian dijuluki ”Kakek Bantal”.
Kendati pengikutnya terus bertambah,
Malik merasa belum puas sebelum berhasil mengislamkan Raja Majapahit. Ia
paham betul, tradisi Jawa sarat dengan kultur ”patron-client”. Rakyat
akan selalu merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena itu,
mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang sangat strategis.
Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung
berdakwah ke raja, pasti tak akan digubris, karena posisinya lebih
rendah. Karena itu ia meminta bantuan sahabatnya, yang menjadi raja di
Cermain. Konon, Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J. Wolbers,
dalam bukunya Geschiedenis van Java, menyebut Cermain tak lain adalah
Kerajaan Gedah, alias Kedah, di Malasyia.
Raja Cermain akhirnya datang bersama
putrinya, Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi yang
berwajah elok itu akan dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Dari sini,
bercabang-cabanglah cerita mengenai ”Raja Majapahit” itu.. Ada yang
menyebut raja itu Prabu Brawijaya V. Tetapi menurut Wolbers, raja
tersebut adalah Angkawijaya.
Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam
bukunya, Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama Angkawijaya tidak dikenal,
baik dalam Babad Tanah Jawi maupun Pararaton. Nama Angkawijaya tercantum
dalam Serat Kanda. Di situ disebutkan, dia adalah pengganti
Mertawijaya, alias Damarwulan –suami Kencana Wungu.
Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni
Raseksi. Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah Jawi, raja
Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi adalah Prabu Brawijaya VII.
Cuma, menurut catatan sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada
1498-1518. Periode ini jadi ”bentrokan” dengan masa hidup Maulana Malik
Ibrahim.
Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja
yang dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias Wikramawardhana, yang
memerintah pada 1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja sebenarnya,
yang jelas penguasa Majapahit itu akhirnya bersedia menemui rombongan
Raja Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total.
Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari,
tetapi menolak masuk Islam. ”Bargaining” seperti ini tentu diotolak
rombongan Cermain. Sebelum pulang ke negerinya, rombongan Cermain
singgah di Leran. Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka menetap di
rumah Sunan Gresik.
Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba
merajalelalah wabah penyakit. Banyak anggota rombongan Cermain yang
tertular, bahkan meninggal. Termasuk Dewi Sari. Raja Cermain dan
sebagian kecil pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri mereka. Sunan
Gresik sendiri tak patah hati dengan kegagalan ”misi” itu. Ia terus
melanjutkan dakwahnya hingga wafat, pada 1419.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !