KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatNya
sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas tinjauan kepustakaan ini tepat pada
waktunya.
Kami
menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, baik dari isi maupun penulisannya. Untuk itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun senantiasa kami harapkan demi
penyempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.
Pada
kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala
bantuan semua pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Maulid
Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada mulanya diperingati untuk
membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang
keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari
Prancis, Jerman, dan Inggris. Kita mengenal musim itu sebagai Perang Salib atau
The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem
dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan
semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam
terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah
tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai
lambang persatuan spiritual.
Adalah
Sultan Salahuddin Al-Ayyubi –orang Eropa menyebutnya Saladin, seorang pemimpin
yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun
1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub –katakanlah dia
setingkat Gubernur. Pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir,
dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung
Arabia. Kata Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali
dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau
umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal
kalender Hijriyah, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati,
kini harus dirayakan secara massal.
Ketika
Salahuddin meminta persetujuan dari khalifah di Baghdad yakni An-Nashir,
ternyata khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H
(1183 Masehi), Salahuddin sebagai penguasa haramain (dua tanah suci, Mekah dan
Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali
ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di
mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M) tanggal 12 Rabiul-Awal
dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan
semangat umat Islam.
Salahuddin
ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak
pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu
Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa
perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan
perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang
terlarang.
Salah
satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi
yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara
penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah
mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi
tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.
Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca
masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Barzanji
bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa
kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga
mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai
peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Nama Barzanji diambil dari nama
pengarang naskah tersebut yakni Syekh Ja’far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim.
Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tulis
tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (artinya kalung permata)
yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Tapi
kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.
Ternyata
peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan
hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora
kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583
H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil
Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.
Dalam
sejarah penyebaran Islam di Nusantara, perayaan Maulid Nabi atau Muludan
dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang
menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai
pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan Maulid Nabi disebut Perayaan
Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.
Dua
kalimat syahadat itu dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan Sunan
Kalijaga bernama Gamelan Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang ditabuh di
halaman Masjid Demak pada waktu perayaan Maulid Nabi. Sebelum menabuh dua
gamelan tersebut, orang-orang yang baru masuk Islam dengan mengucapkan dua
kalimat syahadat terlebih dulu memasuki pintu gerbang “pengampunan” yang
disebut gapura (dari bahasa Arab ghafura, artinya Dia mengampuni).
Pada
zaman kesultanan Mataram, perayaan Maulid Nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata
“gerebeg” artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar
dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan
sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg Mulud,
ada juga perayaan Gerebeg Poso (menyambut Idul Fitri) dan Gerebeg Besar
(menyambut Idul Adha).
Kini
peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama
(NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal (Mulud), sudah dihapal luar kepala
oleh anak-anak NU. Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi
ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan
berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakdo Mulud). Ada yang hanya mengirimkan
masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri,
ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada yang
agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan
ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat
Islam.
Ada
yang hanya membaca Barzanji atau Diba’ (kitab sejenis Barzanji). Bisa juga
ditambah dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian
hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’izhah
hasanah dari para muballigh kondang.
Para
ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan
yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang
baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang
pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain:
berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah
sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’izhah hasanah pada
acara temanten dan Muludan.
Dalam Madarirushu’ud Syarhul
Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa menghormati hari
lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya di Hari Kiamat.” Sahabat Umar
bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir
Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”
- Tujuan
”Kaum muslimin tidak boleh
mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada malam 12
Robi’ul Awwal dan juga pada waktu yang lain, sebagaimana mereka juga tidak
boleh merayakan hari kelahiran selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
karena perayaan hari-hari kelahiran termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam
agama, lebih dari itu, Rasulullah sendiri tidak pernah merayakan hari
kelahirannya semasa hidup beliau, beliau adalah penebar agama Islam dan pembuat
syari’at mewakili Robb-Nya, itupun beliau tidak memerintahkan untuk melakukan
perayaan tersebut, demikian pula para kholifah dan sahabat beliau Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, dan para pengikut beliau yang baik di masa generasi yang
utama, sehingga jelaslah, bahwa hal ini adalah bid’ah…” (“Majmu’ fatawa wa
Maqolaat al-Mutanawwi’ah”(4/289).)
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Maulid Nabi Muhammad SAW
Maulid
Nabi Muhammad SAW terkadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد،
مولد النبي), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang dalam tahun
Hijriyah jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal. Kata maulid atau milad adalah dalam
bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang
berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara
subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada
Rasulullah Muhammad SAW.
- Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW
Perayaan
Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi,
seorang gubernur Irbil, di Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin
Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal
dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan
kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat
itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa
dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem.
- Hukum Memperigati Maulid Nabi Muhammad SAW
Syaikh
Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin rahimahullah –semoga Allah membalas jerih
payahnya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan- , beliau
pernah ditanya tentang hukumnya memperingati maulid Nabi r ?
Maka Syaikh Muhammad bin Shaleh Al
‘Utsaimin rahimahullah menjawab:
1. Malam kelahiran Rasulullah r
tidak diketahui secara qath’i (pasti), bahkan sebagian ulama
kontemporer menguatkan pendapat yang mengatakan bahwasannya ia terjadi pada
malam ke 9 (sembilan) Rabi’ul Awwal dan bukan malam ke 12 (dua belas). Jika
demikian maka peringatan maulid Nabi Muhammad r yang biasa diperingati pada
malam ke 12 (dua belas) Rabi’ul Awwal tidak ada dasarnya, bila dilihat dari
sisi sejarahnya.
2. Di lihat dari sisi syar’i, maka
peringatan maulid Nabi r juga tidak ada dasarnya. Jika sekiranya acara
peringatan maulid Nabi r disyari’atkan dalam agama kita, maka pastilah acara
maulid ini telah di adakan oleh Nabi r atau sudah barang tentu telah beliau
anjurkan kepada ummatnya. Dan jika sekiranya telah beliau laksanakan atau telah
beliau anjurkan kepada ummatnya, niscaya ajarannya tetap terpelihara hingga
hari ini, karena Allah ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah
menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Q.S; Al Hijr : 9 .
Dikarenakan
acara peringatan maulid Nabi r tidak terbukti ajarannya hingga sekarang ini,
maka jelaslah bahwa ia bukan termasuk dari ajaran agama. Dan jika ia bukan
termasuk dari ajaran agama, berarti kita tidak diperbolehkan untuk
beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan acara peringatan
maulid Nabi r tersebut.
Allah
telah menentukan jalan yang harus ditempuh agar dapat sampai kepada-Nya, yaitu
jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah r, maka bagaimana mungkin kita
sebagai seorang hamba menempuh jalan lain dari jalan Allah, agar kita bisa
sampai kepada Allah?. Hal ini jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak
Allah, karena kita telah membuat syari’at baru pada agama-Nya yang tidak ada
perintah dari-Nya. Dan ini pun termasuk bentuk pendustaan terhadap firman Allah
ta’ala :
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan
untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah
Ku-ridha’i islam itu jadi agama bagimu“.
Q.S; Al-Maidah : 3.
Maka
kita perjelas lagi, jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi r termasuk
bagian dari kesempurnaan dien (agama), niscaya ia telah dirayakan sebelum
Rasulullah r meninggal dunia. Dan jika ia bukan bagian dari kesempurnaan dien
(agama), maka berarti ia bukan dari ajaran agama, karena Allah ta’ala
berfirman: “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu“.
Maka
barang siapa yang menganggap bahwa ia termasuk bagian dari kesempurnaan dien
(agama), berarti ia telah membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) sesudah
wafatnya Rasulullah r, dan pada perkataannya terkandung pendustaan
terhadap ayat Allah yang mulia ini (Q.S; Al-Maidah : 3) .
Maka
tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan maulid
Nabi r, pada hakekatnya bertujuan untuk memuliakan (mengagungkan) dan
mengungkapkan kecintaan terhadap Rasulullah SAW, serta menumbuhkan ghirah
(semangat) dalam beribadah yang di peroleh dari acara peringatan maulid Nabi
tersebut. Dan ini semua termasuk dari ibadah. Cinta kepada Rasulullah r
termasuk ibadah, dimana keimanan seseorang tidaklah sempurna hingga ia
mencintai Nabi r melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri, anak-anaknya,
orang tuanya dan seluruh manusia. Demikian pula bahwa memuliakan (mengagungkan)
Rasulullah r termasuk dari ibadah. Dan juga yang termasuk kedalam kategori
ibadah adalah menumbuhkan ghirah (semangat) dalam mengamalkan syari’at Nabinya
r.
- Sejarah Munculnya MAulid NAbi Muhammad SAW
Sesungguhnya
penyelenggaraan perayaan yang memperingati peristiwa-perisiwa Islam tertentu
yang kemudian dijadikan sebagai perantara untuk mendapat berkah itu, pada
mulanya hanya dikenal oleh kelompok kebatinan yang buruk. Mereka adalah Bani
Ubaid Al Qaddah yang menamakan dirinya sebagai Fatimiyyun.1
Upacara
maulid adalah termasuk perbuatan yang dicontohkan oleh para ahli penyimpangan
dan kesesatan, sesungguhnya orang yang pertama yang memunculkan perayaan
upacara maulid adalah orang-orang dari Bani Fatimiyyun dari golongan Ubaidiyyun
yang hidup dikurun waktu ke-4 Hijriyah.
Mereka
ini sengaja mengklaim dirinya sebagai pengikut Fathimah radhiallahu anha secara
dzalim dan untuk mencemarkan nama baiknya padahal sebenarnya mereka adalah
sekelompok orang-orang Yahudi atau ada yang mensinyalir bahwa mereka dari orang
Majusi (penyembah api) bahkan ada yang mengatakan mereka berasal dari kelompok
Atheis.
Pendapat lain, seperti Imam As
Suyuthi dalam Husnul Maqshud fi Amal Al Maulid menegaskan:
“Orang yang pertama kali mengadakan peringatan
hari Maulid Nabi adalah penduduk Irbal, Raja Agung Abu Sa’id Kau Kaburi
bin Zainuddin Ali bin Bakitkin, seorang raja negeri Amjad.
Dan ini diikuti oleh Syaikh Muhammad
bin Abu Ibrahim Alu Syaikh:
“Bid’ah peringatan Maulid Nabi ini,
pertama kali diadakan oleh Abu Sa’id Kau Kaburi pada abad ke-6 H”
Syaikh Hamud Tuwaijiri:
“Upacara peringatan maulid adalah
bid’ah dalam Islam yang diadakan oleh sulthan Irbal pada akhir abd ke-6H atau
pada awal abad ke-7H.”
Al
Ubaidiyyun memasuki Mesir 362H dan raja terakhirnya Al Adhid meninggal 567H,
sedangkan penguasa Irbal dilahirkan 549H dan meninggal 630H, ini menjadi bukti
bahwa kelompok Ubadiyyun lebih dahulu daripada penguasa Irbal -Al Malik Al
Mudzaffar- dalam mengadakan upacara peringatan maulid Nabi.
Bukan
tidak sah mengatakan bahwa penguasa Irbal adalah orang yang pertama kali
mengadakan Maulid Nabi di Maushil, karena yang dilakukan Al Ubaidiyyun diadakan
di negeri sendiri -Mesir, seperti yang dijelaskan dalam buku-buku sejarah.
Wallahu a’lam.5
- Maulid Nabi tidak di bolehkan
Jutaan
umat Islam di seluruh belahan dunia memperingati tanggal 12 Rabi’ul Awwal
setiap tahun, memperingati hari kelahiran Rasulullah saw. Kaum muslimin saling
memberi ucapan selamat, hadiah, dan aneka hidangan yang dipersiapkan untuk
peringatan tersebut, bahkan penjual aneka makanan mendapatkan pesanan yang
beragam dan melimpah, sesuai kebiasaan dan tradisi khas tempat masing-masing.
Waktu
berjalan, peringatan maulid Nabi berkembang secara resmi di kalangan pejabat,
raja dan pemimpin umat Islam dengan saling memberi ucapan selamat, do’a-do’a
keberkahan, bagi-bagi hadiah untuk penghafal Al Qur’an, orasi dan pidato
politik.
Pertanyaannya adalah, Kapan
peringatan maulid Nabi bermula ?
Apakah peringatan maulid Nabi di benarkan dalam Islam ?
Apa hukumnya secara syariah memperingati maulid ini?
Apakah peringatan maulid Nabi di benarkan dalam Islam ?
Apa hukumnya secara syariah memperingati maulid ini?
Pertanyaan-pertanyaan
yang terus terulang saat ada peringatan maulid setiap tahunnya. Bersamaan
dengan itu, masih ada perdebatan seputar hukum memperingati maulid, meskipun
Rasulullah saw sendiri tidak pernah memperingati hari kelahirannya, begitu juga
dengan para sahabat dan tabi’in yang merupakan generasi pilihan.
- Tradisi Fathimiyyah
Sumber-sumber
sejarah menceritakan bahwa, di Mesir ada sekelompok pendukung Fathimah putri
Nabi, mereka disebut Fathimiyyin, mereka lah pertama kali yang mengadakan
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad. Mereka mengadakan peringatan secara
besar-besaran, mereka membagi-bagikan aneka makanan. Di samping memperingati
kelahiran Nabi, mereka juga memperingati hari-hari kelahiran keluarga “ahlul bait”
Nabi saw.
Inilah
kenyataan sejarah yang menjadikan sebagian ulama fiqh menolak mutlak peringatan
Nabi, dan memasukkan katagori bid’ah dalam urusan agama yang tidak ada dasar
hukumnya. Rasulullah saw tidak pernah memperingati hari kelahirannya sepanjang
hidupnya, begitu juga para sahabat dan tabi’in.
وهو القائل صلى الله عليه وسلم: “من
أحدث في
أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد”
“Barangsiapa yang membuat hal baru
dalam urusan agama kami yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia tertolak.”
Artinya tidak termasuk dari ajaran Islam.
Para
penentang perayaan maulid juga bersandar para praktek perayaan maulid ketika
masa Fathimiyyin yang lebih cenderung berlebihan dalam menyebarkan ajaran
syi’ah. Tujuan dari peringatan ini, sebagaimana yang dilihat oleh ahli fiqh
sekaligus da’i, Abdul Karim Al Hamdan, adalah penyebaran aqidah syi’ah dengan
kedok cinta keluarga Nabi dan disertai dengan praktek-praktek yang tidak
diperbolehkan hukum, seperti berlebihan di dalam menghormati pemimpin dengan
cara-cara sufiestik yang sudah menjerus pada kultus individu, berdo’a kepada
selain Allah, bernadzar kepada selain Allah swt. Inilah bentuk-bentuk
peringatan maulid Nabi semenjak kelomopk Fathimiyyin sampai sekarang, baik di
Mesir atau di belahan dunia lainnya.
- Mengapa Kita Tidak Memperingati ?
Dalam
sudut pandang yang berbeda, Dr. Muhammad ‘Alawi Al Maliki Al Husni, seorang
ahli fiqh, memandang bolehnya memperingati maulid Nabi dengan diisi kegiatan
yang bertujuan mendengarkan sejarah perjalanan hidup Nabi saw dan
memperdengarkan pujian-pujian terhadapnya. Ada kegiatan memberi makan,
menyenangkan dan memberi kegembiraan terhadap umat Islam. Meskipun ia
menekankan tidak adanya pengkhususan peringatan pada malam hari tertentu,
karena itu termasuk katagori bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam agama.
Riwayat
dari Rasulullah saw, bahwa beliau mengagungkan hari kelahirannya, beliau
bersyukur kepada Allah pada hari itu, atas nikmat diciptakan dirinya dimuka
bumi dengan membawa misi rahamatan lil’alalmin, mengeluarkan manusia dari
kegelapan menuju cahaya. Ketika Rasulullah saw ditanya tentang sebab beliau
berpuasa pada hari Senin dalam setiap pekan, beliau bersabda sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, (ذلك يوم فيه ولدت). “Itu hari, saya
dilahirkan.”
Terkait
bahwa para sahabat dan tabi’in tidak melaksanakan maulid, Dr Al Husni
mengatakan, “Apa yang tidak dikerjakan oleh salafus shaleh generasi awal Islam,
tidak otomatis menjadi bid’ah yang tidak boleh dikerjakan. Justru perlu
dikembalikan kepada persoalan aslinya, yaitu sesuatu yang membawa mashlahat
secara syar’i menjadi wajib hukumnya, sebaliknya sesuatu yang menjerumuskan
kepada haram, maka hukumnya haram.”
Menurut
padangan Dr. Al Husni, jika memperingati maulid Nabi membawa mashlahat secara
syar’i, maka hukumnya dianjurkan, karena di dalamnya ada kegiatan dzikir,
sedekah, memuji Rasul, memberi makan fakir-miskin, dan kegiatan lainnya yang
diperbolehkan karena membawa manfaat.
- Tergantung Kegiatan
Sebagian
ulama mengingkari peringatan maulid, karena di dalamnya bercampur dengan bid’ah
dan kemungkaran yang terjadi sebelum abad Sembilan Hijriyah, dengan bersandar
pada hukum asli, yaitu “Menolak kerusakan lebih di dahulukan dari pada meraih
mashalahat.”
Ulama
ahli Fiqh dari madzhab Maliki, Tajuddin Al Fakihani juga membolehkan. Sebagian
ada yang malah menganjurkan, seperti Imam Jalaluddi As Suyuthi dan Ibnu Hajar
Al Asqalani, namun mereka mengingkari praktek-praktek bid’ah. Pendapat mereka
ini bersandar pada
firman Allah swt, {وذكرهم بأيام
الله} “Dan ingatkanlah mereka dengan hari-hari Allah.”
Sejumlah ulama Al Azhar, terutama
Syaikh ‘Athiyyah Shaqr rahimahullah, telah berfatwa tentang dibolehkannya
memperingati maulid Nabi dengan syarat.
Fatwa
itu tertuang sebagai berikut, “Rasulullah saw telah menetapkan bahwa hari di
mana beliau dilahirkan memiliki keutamaan dibanding dengan hari-hari lainnya.
Setiap mukmin hendaknya bersungguh-sungguh dalam meraih keagungan pahala,
mengutamakan amal. Itulah alasan memperingati hari ini. Dan bersyukur kepada
Allah swt atas pemberian-Nya yang sangat besar, berupa kelahiran Nabi akhir
zaman yang memberi petunjuk kepada kita menuju syari’at-Nya yang membawa
kelestarian. Namun dengan syarat tidak membuatkan gambar-gambarnya secara
khusus. Bahkan dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah swt atas apa yang
disyariatkan, mengenalkan manusia keutamaan dan keagungan pribadi Rasul, tidak
keluar dari koridor syariat dan berubah menjadi hal yang diharamkan secara
hukum, seperti ikhthilat atau campur baur laki-laki dan perempuan, cenderung
kepada kegiatan yang tidak ada gunanya dan hura-hura, tidak menghormati
baitullah, dan termasuk yang dikatagorikan bid’ah adalah tawasul terhadap
kuburan, sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan bertentangan dengan
adab.
Jika yang dominan adalah
kegiatan-kegiatan seperti di atas, maka yang diutamakan adalah mencegah
kerusakan sebagaimana kaidah ushul. “Mencegah kerusakan lebih didahulukan dari
pada meraih maslahat.”
Namun jika hal-hal positif lebih
dominan dan manfaat secara syar’i didapatkan, maka tidak ada larangan
memperingati maulid Nabi dengan tetap mengantisipasi hal-hal negatif sesuai
kemampuan.” Allahu ‘alam
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Kesimpulannya
adalah bahwa mengadakan peringatan maulid Nabi r dengan tujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, dan pengagungan terhadap Rasulullah r
termasuk dari ibadah. Jika ia termasuk ibadah maka kita tidak diperbolehkan
untuk mengadakan perkara baru pada agama Allah (bid’ah) yang bukan
syari’at-Nya. Oleh karena itu peringatan maulid Nabi r termasuk bid’ah dalam
agama dan termasuk yang diharamkan.
Kemudian
kita mendengar informasi bahwasannya pada acara peringatan maulid Nabi r
terdapat kemunkaran-kemunkaran yang besar, yang tidak dibenarkan syar’i,
indera maupun akal. Dimana mereka mensenandungkan qashidah yang didalamnya
mengandung pengkultusan terhadap Nabi r, hingga terjadi pengagungan yang
melebihi pengagungannya kepada Allah ta’ala –kita berlindung kepada
Allah dari hal ini-.
Dan
juga kita mendengar informasi tentang kebodohan sebagian orang yang mengikuti
acara peringatan maulid Nabi tersebut , dimana ketika dibacakan kisah maulid
(kelahiran) beliau, lalu ketika sampai pada perkataan (dan lahirlah Musthafa
r), maka mereka semua serentak berdiri. Mereka mengatakan bahwa ruh Rasulullah
r telah datang, maka kami berdiri sebagai penghormatan terhadap kedatangan
ruhnya. Dan ini jelas suatu kebodohan.
Dan
bukan merupakan adab bila mereka berdiri untuk menghormati kedatangan ruh Nabi
r, karena Rasulullah r merasa enggan (tidak senang) apabila ada sahabat yang
berdiri untuk menghormatinya. Padahal kecintaan dan pengagungan para sahabat
terhadap Rasulullah r melebihi yang lainnya, akan tetapi mereka tidak
berdiri untuk memuliakan dan mengagungkannya, ketika mereka melihat keengganan
Rasulullah r dengan perbuatan tersebut. Jika hal ini tidak mereka lakukan pada
saat Rasulullah r masih hidup, lalu bagaimana hal tersebut bisa dilakukan oleh
manusia setelah beliau meninggal dunia?.
Bid’ah
ini, maksudnya adalah bid’ah maulid, terjadi setelah berlalunya 3 (tiga)
kurun waktu yang terbaik (masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in).
sesungguhnya Peringatan maulid Nabi r telah menodai kesucian aqidah dan juga
mengundang terjadinya ikhtilath (bercampur-baurnya antara laki-laki dan wanita)
serta menimbulkan perkara-perkara munkar yang lainnya.
- Saran – saran
Implementasi dari syahadat Laa Ilaa
illalloh adalah tauhid yaitu menunggalkan (mentauhidkan) Alloh di dalam
peribadatan dan tidak mensekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, baik di dalam
Rububiyah, Uluhiyah an asma’ wa shifat-Nya. Adapun konsekuensi dari syahadat
Muhammad Rasulullah adalah, mentauhidkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
di dalam ittiba’ (peneladanan) dan tidaklah mengamalkan suatu ibadah melainkan
sebagaimana yang dituntunkan oleh beliau ‘alaihis Sholatu was Salam.
Rasulullah sendiri menyatakan bahwa amalan bid’ah itu tertolak, walaupun yang mengamalkannya ikhlas lillahi Ta’ala, dan setiap bid’ah itu adalah sesat. Sebagian salaf bahkan mengatakan, bahwa amalan bid’ah itu lebih dicintai syaithan daripada maksiat, karena orang yang bermaksiat dia faham bahwa dirinya dalam kesalahan sehingga diharapkan ia dapat bertaubat. Sedangkan orang yang mengamalkan bid’ah, menganggap apa yg ia lakukan adalah baik sehingga sulit baginya bertaubat.
Islam itu agama sempurna dan wajib atas kita mengamalkannya secara kaafah. Kita wajib mengingkari kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan seluruhnya. Bukannya kita hanya mengingkari kemaksiatan, namun ridha dan mendiamkan dosa yang lebih besar, yaitu syirik (yg tidak diampuni Alloh) dan bid’ah (yang dinyatakan sesat oleh Rasulullah).
Ummat Islam akan maju apabila umat ini mau kembali kepada agama sebagaimana yang dibawa oleh para pendahulu mereka yang shalih. Sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullahu, “Tidak akan sukses keadaan ummat ini melainkan kembali sebagaimana suksesnya salaf shalih terdahulu”.
Rasulullah sendiri menyatakan bahwa amalan bid’ah itu tertolak, walaupun yang mengamalkannya ikhlas lillahi Ta’ala, dan setiap bid’ah itu adalah sesat. Sebagian salaf bahkan mengatakan, bahwa amalan bid’ah itu lebih dicintai syaithan daripada maksiat, karena orang yang bermaksiat dia faham bahwa dirinya dalam kesalahan sehingga diharapkan ia dapat bertaubat. Sedangkan orang yang mengamalkan bid’ah, menganggap apa yg ia lakukan adalah baik sehingga sulit baginya bertaubat.
Islam itu agama sempurna dan wajib atas kita mengamalkannya secara kaafah. Kita wajib mengingkari kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan seluruhnya. Bukannya kita hanya mengingkari kemaksiatan, namun ridha dan mendiamkan dosa yang lebih besar, yaitu syirik (yg tidak diampuni Alloh) dan bid’ah (yang dinyatakan sesat oleh Rasulullah).
Ummat Islam akan maju apabila umat ini mau kembali kepada agama sebagaimana yang dibawa oleh para pendahulu mereka yang shalih. Sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullahu, “Tidak akan sukses keadaan ummat ini melainkan kembali sebagaimana suksesnya salaf shalih terdahulu”.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
- http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/12/1/pustaka-172.htm
- http://www.box.net/encoded/6870461/67171703/226a37b841e29f599bfb2
- Al-Hukmul Haqqu fil Ihtifal bi maulid Sayyidil Khalqi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tulisan dari syaikh kami Ali bin Hasan al-Halabi – hafidhahullah –
- Al-Qaulul Fashlu fi Hukmil Ihtifal bi maulidi Khoirir Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tulisan al-‘Allamah Ismail al-Anshariy.
- Al-Maurid fi ‘Amalil maulid, tulisan dari syaikh al-‘Allamah al-Fakihany
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !