Senja hampir bergulir di Desa Gapuro,
Gresik, Jawa Timur, menjelang bulan Ramadhan itu. Tak ada angin. Awan
seperti berhenti berarak. Batu pualam berukir kaligrafi indah itu
terpacak bagaikan saksi sejarah. Itulah nisan makam almarhum Syekh
Maulana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12 Rabiul Awal 822 Hijriah, atau 8
April 1419.
Di latar nisan itu tersurat ayat suci
Al-Quran: surat Ali Imran 185, Ar-Rahman 26-27, At-Taubah 21-22, dan
Ayat Kursi. Ada juga rangkaian kata pujian dalam bahasa Arab bagi Malik
Ibrahim: ”Ia guru yang dibanggakan para pejabat, tempat para sultan dan
menteri meminta nasihat. Orang yang santun dan murah hati terhadap fakir
miskin. Orang yang berbahagia karena mati syahid, tersanjung dalam
bidang pemerintahan dan agama.”
Demikian terjemahan bebas inskripsi di
nisan pualam makam berbangun lengkung menyerupai kubah itu. Dalam
beberapa sumber sejarah tradisional, Syekh Maulana Malik Ibrahim disebut
sebagai anggota Wali Songo, tokoh sentral penyebar agama Islam di Pulau
Jawa. Sejarawan G.W.J. Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah
tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai wali di antara para wali.
”Ia seorang mubalig paling awal,” tulis
Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in Indonesia.
Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim,
menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama
besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya
derajat tinggi.
Sekalipun Malik Ibrahim tidak termasuk
dalam jajaran Wali Songo, masih menurut Hoessein, jelas dia adalah
seorang wali. Adapun istilah Wali Songo berasal dari kata ”wali” dan
”songo”. Kata wali berasal dari bahasa Arab, waliyullah, orang yang
dicintai Allah –alias kekasih Tuhan. Kata songo berasal dari bahasa
Jawa, yang berarti sembilan.
Ada wali yang termasuk anggota Wali Songo
–yang terdiri dari sembilan orang– dan ada wali yang bukan anggota
”dewan” Wali Songo. Konsep ”dewan wali” berjumlah sembilan ini diduga
diadopsi dari paham Hindu-Jawa yang berkembang sebelum masuknya Islam.
Wali Songo seakan-akan dianalogikan dengan sembilan dewa yang bertahta
di sembilan penjuru mata angin.
Dewa Kuwera bertahta di utara, Isana di
timur laut. Indra di timur, Agni di tenggara, dan Kama di selatan. Dewa
Surya berkedudukan di barat daya, Yama di barat, Bayu, atawa Nayu, di
barat laut, dan Siwa di tengah. Para wali diakui sebagai manusia yang
dekat dengan Tuhan. Mereka ulama besar yang menyemaikan benih Islam di
Jawadwipa.
Figur para wali –sebagaimana dikisahkan
dalam babad dan ”kepustakaan” tutur– selalu dihubungkan dengan kekuatan
gaib yang dahsyat. Namun, hingga sekarang, belum tercapai ”kesepakatan”
tetang siapa saja gerangan Wali nan Sembilan itu. Terdapat beragam-ragam
pendapat, masing-masing dengan alasannya sendiri.
Pada umumnya orang berpendapat, yang
terhisab ke dalam Wali Songo adalah: Syekh Maulana Malik Ibrahim alias
Sunan Gresik, Raden Rakhmad alias Sunan Ampel, Raden Paku alias Sunan
Giri, Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, Raden Maulana Makdum
Ibrahim alias Sunan Bonang, Syarifuddin alias Sunan Drajat, Jafar Sodiq
alias Sunan Kudus, Raden Syahid alias Sunan Kalijaga, dan Raden Umar
Sayid alias Sunan Muria.
Namun, komposisi Wali nan Sembilan ini
juga punya banyak versi. Prof. Soekmono dalam bukunya, Pengantar Sejarah
Kebudayaan Indonesia, Jilid III, tidak memasukkan Syekh Maulana Malik
Ibrahim dalam jajaran Wali Songo. Guru besar sejarah kebudayaan
Universitas Indonesia itu justru menempatkan Syekh Siti Jenar, alias
Syekh Lemah Abang, sebagai anggota Wali Songo.
Sayang, Soekmono tak menyodorkan
argumentasi mengapa Maulana Malik Ibrahim tidak termasuk Wali Songo. Ia
hanya menyebut Syekh Siti Jenar sebagai tokoh sangat populer. Siti Jenar
dihukum mati oleh Wali Songo, karena dinilai menyebarkan ajaran sesat
tentang jubuhing kawulo Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhannya), yang
dapat mengguncang iman orang dan menggoyahkan syariat Islam.
Selain itu, Wali Songo juga ditafsirkan
sebagai sebuah lembaga, atau dewan dakwah. Istilah sembilan dirujukkan
dengan sembilan fungsi koordinatif dalam lembaga dakwah itu. Teori ini
diuraikan dalam buku Kisah Wali Songo; Para Penyebar Agama Islam di
Tanah Jawa karya Asnan Wahyudi dan Abu Khalid.
Kedua penulis itu merujuk pada kitab Kanz
Al-’ulum karya Ibn Bathuthah. Mereka menjelaskan, sebagai lembaga dewan
dakwah, Wali Songo paling tidak mengalami lima kali pergantian anggota.
Pada periode awal, anggotanya terdiri dari Maulana Malik Ibrahim,
Ishaq, Ahmad Jumad Al-Kubra, Muhammad Al-Magribi, Malik Israil, Muhammad
Al-Akbar, Maulana Hasanuddin, Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Pada periode kedua, Raden Rakhmad (Sunan
Ampel), Sunan Kudus, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), dan Sunan
Bonang masuk menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Malik Israil, Ali
Akbar, dan Maulana Hasanuddin –yang wafat. Pada periode ketiga, masuk
Sunan Giri, menggantikan Ishaq yang pindah ke Pasai, Aceh, dan Sunan
Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang pulang ke Persia.
Pada periode keempat, Raden Patah dan
Fatullah Khan masuk jajaran Wali Songo. Kedua tokoh ini menggantikan
Ahmad Jumad Al-Kubra dan Muhammad Al-Magribi yang wafat. Sunan Muria
menduduki lembaga Wali Songo dalam periode terakhir. Ia menggantikan
Raden Patah, yang naik tahta sebagai Raja Demak Bintoro yang pertama.
Analisis tersebut secara kronologis
mengandung banyak kelemahan. Contohnya Sunan Ampel, yang diperkirakan
wafat pada 1445. Dalam versi ini disebutkan, seolah-olah Sunan Ampel
masih hidup sezaman dengan Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Drajat,
Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria. Padahal, Sunan Kudus hidup pada
1540-an.
Adapun Sunan Bonang dan Sunan Drajat
adalah putra Sunan Ampel. Sunan Bonang merupakan guru Sunan Kalijaga,
yang berputra Sunan Muria. Bagaimana mungkin Sunan Ampel hidup sezaman
dengan Sunan Muria? Lagi pula, tokoh Wali Songo yang disebut dalam buku
ini –Aliyuddin, Ali Akbar, dan Fatullah Khan– bukan wali terkenal di
Jawa.
Nama mereka jarang ditemukan dalam
historiografi tradisional, baik berupa serat maupun babad. Padahal, di
Jawa terdapat puluhan naskah kuno berupa babad, hikayat, dan serat, yang
mengisahkan para wali. Sebagian besar babad juga menggambarkan, Wali
Songo hidup dalam kurun waktu yang bersamaan.
Para wali, menurut versi babad,
dikisahkan sering mengadakan pertemuan di Masjid Demak dan Masjid ”Sang
Cipta Rasa” (Cirebon). Di sana mereka membicarakan berbagai persoalan
keagamanan dan kenegaraan. Kisah semacam ini, antara lain, dapat dibaca
di Babad Demak, Babad Cirebon, dan Babad Tanah Jawi.
Babad Cirebon, misalnya, mewartakan bahwa
pada 1426, para wali berkumpul di Gunung Ciremai. Mereka mengadakan
musyawarah yang dipimpin Sunan Ampel, membentuk ”Dewan Wali Songo”.
Sunan Gunung Jati ditunjuk selaku wali katib, atau imam para wali.
Anggotanya terdiri dari Sunan Ampel, Syekh Maulana Magribi, Sunan
Bonang, Sunan Ngudung alias Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Muria,
Syekh Lemah Abang, Syekh Betong, dan Sunan Majagung.
Ditambah dengan Sunan Gunung Jati, jumlah
wali itu malah menjadi 10 orang. Nama-nama Wali Songo yang tertulis di
Babad Cirebon tersebut berbeda dengan yang tersurat di Babad Tanah Jawi.
Dalam Babad Tanah Jawi, yang berasal dari Jawa Tengah, tidak ditemukan
nama Syekh Betong dan Syekh Majagung. Sebagai gantinya, akan dijumpai
nama Sunan Giri dan Sunan Drajat.
Tapi, peran Wali Songo jelaslah tak
sebatas di bidang keagamaan. Mereka juga bertindak selaku anggota dewan
penasihat bagi raja. Bahkan, Sunan Giri membentuk dinasti keagamaan, dan
secara politis berkuasa di wilayah Gresik, Tuban, dan sekitarnya. Ia
mengesahkan penobatan Joko Tingkir sebagai Raja Pajang bergelar Sultan
Hadiwijaya, setelah kekuasaan Raja Demak surut.
Di luar Wali Songo, ada puluhan tokoh
penyebar agama Islam di Jawa yang juga dianggap sebagai wali. Hanya,
biasanya mereka berkuasa di kawasan tak seberapa luas. Sunan Tembayat,
misalnya, dikenal sebagai pedakwah di Tembayat, sebuah wilayah kecamatan
di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Ia dilegendakan sebagai murid Sunan
Kalijaga.
Sunan Tembayat adalah Adipati Semarang
yang termasyhur dengan nama Ki Ageng Pandanarang. Berdasarkan cerita
babad yang dikutip H.J. De Graaf dan T.H. Pigeuad, Pandanaran
meninggalkan singgasananya lantaran gandrung akan ajaran Islam yang
disampaikan Sunan Kalijaga. Pada 1512, Pandanarang menyerahkan tampuk
pemerintahan kepada adik laki-lakinya.
”Ia bersama istrinya mengundurkan diri
dari dunia ramai,” tulis De Graaf dan Pigeaud dalam buku Kerajaan Islam
Pertama di Jawa. ”Pasangan bangsawan Jawa ini berkelana mencari
ketenangan batin, sembari berdakwah,” kedua pakar sejarah dari
Universitas Leiden, Negeri Belanda, itu menambahkan.
Usai bertualang, Pandanarang dan istrinya
bekerja pada seorang wanita pedagang beras di Wedi, Klaten. Akhirnya ia
menetap di Tembayat sebagai guru mengaji. Di sana selama 25 tahun,
Pandanarang hidup sebagai orang suci dengan sebutan Sunan Tembayat. Ia
wafat pada 1537 dan dimakamkan di situ. Bangunan kompleks makam Sunan
Tembayat terbuat dari batu berukir, menyerupai bentuk Candi Bentar di
Jawa Timur dan pura di Bali.
Pada prasasti makam Sunan Tembayat
tertulis, makam ini pertama kali dipugar pada 1566 oleh Raja Pajang,
Sultan Hadiwijaya. ”Kemudian, pada 1633, Sultan Agung dari Mataram
memperluas dan memperindah bangunan makam Tembayat,” tulis De Graaf.
Cerita tutur tentang kesaktian orang suci dari Semarang yang dimakamkan
di Tembayat ini, menurut De Graaf, sudah beredar luas di kalangan
masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-17.
Kisah ini ternukil di naskah klasik karya
Panembahan Kajoran dari Yogyakarta, yang ditulis pada 1677. Naskah
tersebut pertama kali diteliti oleh D.A. Rinkes pada 1909. Dan kini,
bukti sejarah itu tersimpan di Museum Leiden, Negeri Belanda. ”Dengan
begitu, legenda itu punya inti kebenaran,” tulis De Graaf, yang dijuluki
”Bapak Sejarah Jawa”.
Selain Sunan Tembayat –menurut versi
Babad Tanah Jawi– Sunan Kalijaga juga punya murid lain, Sunan Geseng
namanya. Nama asli petani penyadap nira ini adalah Ki Cokrojoyo.
Alkisah, dalam pengembaraannya, Sunan Kalijaga terpikat suara merdu Ki
Crokro yang bernyanyi setelah menyadap nira.
Kalijaga meminta Ki Cokro mengganti syair
lagunya dengan zikir kepada Allah. Ketika Ki Cokro berzikir, mendadak
gula yang ia buat dari nira itu berubah jadi emas. Petani ini heran
bukan kepalang. Ia ingin berguru kepada Sunan Kalijaga. Untuk menguji
keteguhan hati calon muridnya, Sunan Kalijaga menyuruh ki Cokro berzikir
tanpa berhenti, sebelum ia datang lagi.
Setahun kemudian, Sunan Kalijaga teringat
Ki Cokro. Sang aulia memerintahkan murid-muridnya mencari Ki Cokro,
yang berzikir di tengah hutan. Mereka kesulitan menemukannya, karena
tempat berzikir ki Cokro telah berubah menjadi padang ilalang dan semak
belukar. Syahdan, setelah murid-murid Sunan Kalijaga membakar padang
ilalang, tampaklah Ki Cokro sujud ke kiblat.
Tubuhnya hangus, alias geseng, dimakan
api. Tapi, penyadap nira ini masih bugar, mulutnya berzikir komat-kamit.
Sunan Kalijaga membangunkannya dan memberinya nama Sunan Geseng. Ia
menyebarkan agama Islam di Desa Jatinom, sekitar 10 kilometer dari kota
Klaten arah ke utara. Penduduk Jatinom mengenal Sunan Geseng dengan
sebutan Ki Ageng Gribik.
Julukan itu berangkat dari pilihan Sunan
Geseng untuk tinggal di rumah beratap gribik –anyaman daun nyiur.
Menurut legenda setempat, ketika Ki Ageng Gribik pulang dari menunaikan
ibadah haji, ia melihat penduduk Jatinom kelaparan. Ia membawa sepotong
kue apem, dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan. Semuanya
kebagian.
Kia Ageng Gribik meminta warga yang
kelaparan makan secuil kue apem seraya mengucapkan zikir: Ya-Qowiyyu
(Allah Mahakuat). Mereka pun kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat
Jatinom menghidupkan legenda Ki Ageng Gribik itu dengan menyelenggarakan
upacara ”Ya-Qowiyyu” pada setiap bulan Syafar.
Warga membikin kue apem, lalu disetorkan
ke masjid. Apem yang terkumpul jumlahnya mencapai ratusan ribu. Kalau
ditotal, beratnya sekitar 40 ton. Puncak upacara berlangsung usai salat
Jumat. Dari menara masjid, kue apem disebarkan para santri sambil
berzikir, Ya-Qowiyyu…. Ribuan orang yang menghadiri upacara
memperebutkan apem ”gotong royong” itu.
Kisah Ki Ageng Gribik hanyalah satu dari
sekian banyak mitos tentang para wali. Legenda keagamaan yang ditulis
babad, menurut De Graaf, sedikit nilai kebenarannya. Hanya yang mengenai
wali-wali terkemuka, katanya, ada kepastian sejarah yang cukup kuat.
Makam mereka masih tetap merupakan tempat yang sangat dihormati. Pada
kurun abad ke-16 hingga abad ke-17, keturunan para wali juga memegang
peranan penting dalam sejarah politik Jawa.
Selama 40 hari, Raden Paku bertafakur di
sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan
pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak,
kembali terngiang: ”Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di
Gresik.” Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama
persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur,
Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti,
Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden
Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ”giri” berarti
gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang
menunjukkan kebesaran Pesantren Giri –yang berkembang menjadi Kerajaan
Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah
perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari
makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5
meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah
masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat
wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang
pengunjung. ”Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,” kata
Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke
seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan,
Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan
Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren
Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri
meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat
istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam. Karena itu, Sunan
Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ”putihan”, aliran yang didukung
Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara
berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula
menggunakan pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini
mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan
Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian
Masjid Demak. ”Aliran Tuban” –Sunan Kalijaga cs– ingin meramaikan
peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang
tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan
tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak
menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang
kulit. Ketika Sunan Ampel, ”ketua” para wali, wafat pada 1478, Sunan
Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia
diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh
pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten
Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai
ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan
ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun
dijadikan rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya
berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas
dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas
sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon,
seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon,
serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam
naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat
Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena
diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri
dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku
jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah,
putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro
berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal,
sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470.
Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan
pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas
wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak
langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang
menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu
Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika
Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan
agama Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang
masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan. Ketika
itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri
Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor
tidak berhasil mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara:
siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan
dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak
ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah
keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa
sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu
dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang
memberi ”referensi” tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak
mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya
bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana
Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama
Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishak.
Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang
muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan
sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan
mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak
akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum
berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu –yang sedang
mengandung tujuh bulan– agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah
bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya
kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh
awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu
lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak
itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan
dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di
padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi
gelar ”Maulana `Ainul Yaqin”. Setelah bertahun-tahun belajar, Joko
Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel
untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai,
untuk menemui Syekh Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan
Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di
Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali
Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren
di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang
diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri
hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya
memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat
pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri,
Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !