Sunan Gunung Jati
Di Kompleks pemakaman Gunung Sembung,
sering terlihat penziarah –perorangan atau rombongan– dari kalangan
etnis Cina. Sama dengan para saudaranya dari kalangan Islam, umat Buddha
dan Konghucu itu bertujuan menyekar pemakaman yang terletak di Desa
Astana, sekitar tiga kilometer di barat kota Cirebon, Jawa Barat, itu.
Untuk mereka disediakan ”kavling” khusus
di sisi barat serambi depan kompleks pemakaman. Tentu bukan karena
diskriminasi. ”Kami tak membeda-bedakan penziarah,” kata Yusuf Amir,
salah seorang juru kunci kompleks pemakaman. ”Penziarah muslim ataupun
nonmuslim semuanya bisa berdoa di sini,” Yusuf, 36 tahun, menambahkan.
Pemisahan tempat semata-mata karena
ritual yang berbeda. Di sayap barat itu terdapat makam Ong Tien, salah
seorang istri Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan nama Sunan
Gunung Jati. Dia adalah putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Banyak
versi tentang perjodohan mereka. Yang paling spekatakuler tentulah versi
”nujum bertuah” Sunan Gunun Jati.
Syahdan, dalam persinggahannya di Cina,
Syarif Hidayatullah menyebarkan Islam sambil berpraktek sebagai tabib.
Setiap yang datang berobat diajarinya berwudu dan diajak salat. Manjur,
si sakit sembuh. Dalam waktu singkat, nama Syarif Hidayatullah semerbak
di kota raja. Kaisar pun kemudian tertarik menjajal kesaktian ”sinse”
dari Tanah Pasundan itu.
Syarif Hidayatullah dipanggil ke istana.
Sementara itu, Kaisar menyuruh putrinya yang masih gadis, Lie Ong Tien,
mengganjal perutnya dengan baskom, sehingga tampak seperti hamil,
kemudian duduk berdampingan dengan saudarinya yang memang sedang hamil
tiga bulan. Syarif Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar
hamil.
Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien.
Kaisar dan para ”abdi dalem” ketawa terkekeh. Tapi, sejurus kemudian,
istana geger. Ong Tien ternyata benar-benar hamil, sedangkan kandungan
saudarinya justru lenyap. Kaisar meminta maaf kepada Syarif
Hidayatullah, dan memohon agar Ong Tien dinikahi.
Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein
Djajadiningrat menyangsikan cerita ini. Dalam disertasinya di
Universitas Leiden, Belanda, 1913, yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, Hoesein terang-terangan menyebutkan bahwa lawatan Syarif Hidayatullah ke negeri Cina hanya legenda.
Tentu tak semua sepakat dengan Hoesein. Meski tak menyebut-nyebut soal ”nujum” itu, dalam buku Sejarah Cirebon,
1990, Pangeran Soelaeman Sulendraningrat menyebutkan Syarif
Hidayatullah memang pergi ke Cina. Ia sempat menetap di salah satu
tempat di Yunan. Ia juga pernah diundang Kaisar Hong Gie.
Kebetulan, sekretaris kerajaan pada masa
itu, Ma Huan dan Feishin, sudah memeluk Islam. Dalam pertemuan itulah
Syarif Hidayatullah dan Ong Tien saling tertarik. Kaisar tak setuju.
Syarif Hidayatullah lalu dipersonanongratakan. Tapi, kecintaan Ong Tien
kepada Syarif Hidayatullah sudah sangat mendalam.
Dia mendesak terus ayahnya agar diizinkan
menyusul kekasihnya ke Cirebon. Setelah mendapat izin, Ong Tien
bertolak ke Cirebon dengan menggunakan kapal layar kerajaan Cina. Dia
dikawal Panglima Lie Guan Cang, dengan nakhoda Lie Guan Hien. Putri
membawa barang-barang berharga dari Istana Kerajaan Cina, terutama
berbagai barang keramik.
Barang-barang kuno ini kini masih
terlihat di sekitar Keraton Kasepuhan atau Kanoman, bahkan di kompleks
pemakaman Gunung Sembung. Dari Ong Tien, Syarif Hidayatullah tak beroleh
anak. Putri Cina itu keburu meninggal setelah empat tahun berumah
tangga. Besar kemungkinan, sumber yang dirujuk P.S. Sulendraningrat
adalah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Naskah yang ditemukan pada l972 ini
ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720. Banyak sejarahwan menilai,
kisah Syarif Hidayatullah yang ditulis dalam kitab tersebut lebih
rasional dibandingkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat.
Belakangan diketahui, Pangeran Arya mendasarkan penulisannya pada Pustaka Negara Kertabumi.
Naskah yang termaktub dalam kumpulan Pustaka Wangsa Kerta
itu ditulis pada 1677-1698. Naskah ini dianggap paling dekat dengan
masa hidup Syarif Hidayatullah, alias Sunan Gunung Jati. Dia lahir pada
1448, wafat pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian tertinggi
”Wukir Saptarengga”, kompleks makam Gunung Sembung.
Cerita sering dirujuk para sejarahwan
kiwari untuk menjungkirbalikkan penelitian Hoesein Djajadiningrat, yang
menyimpulkan bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan sebagai orang yang
sama. Berdasarkan naskah tersebut, Sunan Gunung Jati bukan Falatehan,
atawa Fatahillah. Tokoh yang lahir di Pasai, pada 1490, ini justru
menantu Sunan Gunung Jati.
Tapi, apa boleh buat, pemikiran Hoesein
ini berpengaruh besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Buku-buku
sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial sampai Orde Baru, sering
menyebut Fatahillah sebagai Sunan Gunung Jati. Padahal, di Gunung
Sembung, Astana, masing-masing tokoh itu punya makam sendiri.
”Tak satu pun naskah asli Cirebon yang
menyebutkan Sunan Gunung Jati sama dengan Fatahillah,” kata Dadan
Wildan, seperti tertulis dalam disertasinya, Cerita Sunan Gunung
Jati: Keterjalinan Antara Fiksi dan Fakta – Suatu Kajian Pertalian
Antarnaskah Isi, dan Analisa Sejarah dalam Naskah-Naskah Tradisi Cirebon.
Dadan berhasil meraih gelar doktor ilmu
sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, September lalu. Naskah
yang ditelitinya, selain Carita Purwaka Caruban Nagari, adalah Caruban Kanda (1844), Babad Cerbon (1877), Wawacan Sunan Gunung Jati, Sajarah Cirebon, dan Babad Tanah Sunda –yang ditulis pertengahan abad ke-20.
Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos
kesaktian Sunan Gunung Jati, dari cincin Nabi Sulaiman sampai jubah Nabi
Muhammad SAW. Tapi, mengenai asal usul Syarif Hidayatullah, semuanya
sepakat ia berdarah biru, baik dari garis ayah maupun garis ibu. Ayahnya
Sultan Mesir, Syarif Abdullah. Ibunya adalah Nyai Lara Santang.
Setelah menikah, putri raja Siliwangi dan
adik Pangeran Walangsungsang itu memakai nama Syarifah Mudaim. Lara
Santang dan Walangsungsang memperdalam agama Islam di Cirebon, berguru
pada Syekh Idlofi Mahdi yang asal Baghdad. Syekh Idlofi terkenal juga
dengan sebutan Syekh Djatul Kahfi atau Syekh Nurul Jati. Setelah khatam,
keduanya disuruh ke Mekkah menunaikan ibadah haji.
Di situlah, seperti dikisahkan dalam Carita Purwakan Caruban Nagari,
mereka bertemu dengan Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini
ditugasi Sultan Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon istri yang
wajahnya mirip dengan permaisurinya yang baru meninggal. Lara Santang
kebetulan mirip, lalu diboyong ke Mesir.
Walasungsang pulang ke Jawa, kemudian
jadi penguasa Nagari Caruban Larang –cikal bakal kerajaan Cirebon. Sejak
itu dia lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana. Dari
perkawinan Syarif Abdullah-Syarifah Mudaim lahir Syarif Hidayatullah,
pada 1448. Dalam usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk
memperdalam pengetahuan agama.
Selama empat tahun ia berguru kepada
Syekh Tajuddin Al-Kubri dan Syekh Ata’ullahi Sadzili. Kemudian ia ke
Baghdad untuk belajar tasauf, lalu kembali ke negerinya. Di Mesir, oleh
pamannya, Raja Onkah, Syarif Hidayatullah hendak diserahi kekuasaan.
Namun Syarif menolak, dan menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya,
Syarif Nurullah.
Syarif Hidayatullah bersama ibunya pulang
ke Cirebon, dan pada l475 tiba di Nagari Caruban Larang yang diperintah
pamannya, Pangeran Cakrabuana. Empat tahun kemudian Pangeran Cakrabuana
mengalihkan kekuasannnya kepada Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya
menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Pakungwati.
Untuk keperluan dakwah, Syarif
Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten. Dari
pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran
Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan
Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih
dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan,
alias Faletehan.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !