Sunan Giri
Selama
40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta
petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam,
pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: ”Kelak, bila tiba
masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.” Pesan yang tak terlalu sulit,
sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama
persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur,
Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti,
Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden
Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ”giri” berarti
gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang
menunjukkan kebesaran Pesantren Giri –yang berkembang menjadi Kerajaan
Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah
perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari
makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5
meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah
masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat
wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang
pengunjung.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke
seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan,
Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan
Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren
Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri
meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya
merusak kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai
pemimpin kaum ”putihan”, aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan
Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku.
Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan
kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini
mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan
Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian
Masjid Demak. ”Aliran Tuban” –Sunan Kalijaga cs– ingin meramaikan
peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang
tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan
tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak
menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang
kulit. Ketika Sunan Ampel, ”ketua” para wali, wafat pada 1478, Sunan
Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia
diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh
pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten
Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai
ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan
ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun
dijadikan rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya
berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas
dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas
sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon,
seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon,
serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam
naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat
Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena
diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri
dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku
jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah,
putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro
berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal,
sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470.
Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan
pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas
wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak
langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang
menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu
Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika
Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan
agama Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang
masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan. Ketika
itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri
Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor
tidak berhasil mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara:
siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan
dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak
ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah
keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa
sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu
dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang
memberi ”referensi” tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak
mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya
bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana
Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama
Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishak.
Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang
muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan
sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan
mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak
akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum
berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu –yang sedang
mengandung tujuh bulan– agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah
bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya
kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh
awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu
lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak
itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan
dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di
padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi
gelar ”Maulana `Ainul Yaqin”. Setelah bertahun-tahun belajar, Joko
Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel
untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai,
untuk menemui Syekh Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan
Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di
Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali
Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren
di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang
diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri
hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya
memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat
pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri,
Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !