Sunan Ampel
Prabu Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau memikirkan pekerti warganya yang bubrah
tanpa arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada,
kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit. Perang saudara berkecamuk di
mana-mana. Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi
”kesibukan” harian kaum bangsawan –pun rakyat kebanyakan.
Melihat beban berat suaminya, Ratu
Darawati merasa wajib urun rembuk. ”Saya punya keponakan yang ahli
mendidik kemerosotan budi pekerti,” kata permaisuri yang juga putri Raja
Campa itu. ”Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda Dewi
Candrawulan,” Darawati menambahkan. Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya
mengirim utusan, menjemput Ali Rahmatullah ke Campa –kini wilayah
Kamboja.
Ali Rahmatullah inilah yang kelak lebih
dikenal sebagai Sunan Ampel. Cucu Raja Campa itu adalah putra kedua
pasangan Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Dewi Candrawulan. Ayahnya, Syekh
Ibrahim, adalah seorang ulama asal Samarkand, Asia Tengah. Kawasan ini
melahirkan beberapa ulama besar, antara lain perawi hadis Imam Bukhari.
Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Campa.
Ia kemudian diangkat sebagai menantu. Sejumlah sumber sejarah mencatat
silsilah Ibrahim dan Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad lewat
jalur Imam Husein bin Ali. Tarikh Auliya karya KH Bisri Mustofa mencantumkan nama Rahmatullah sebagai keturunan Nabi ke-23.
Ia diperkirakan lahir pada 1420, karena
ketika berada di Palembang, pada 1440, sebuah sumber sejarah menyebutnya
berusia 20 tahun. Soalnya, para sejarawan lebih banyak mendiskusikan
tahun kedatangan Rahmatullah di Pulau Jawa. Petualang Portugis, Tome
Pires, menduga kedatangan itu pada 1443.
Hikayat Hasanuddin
memperkirakannya pada sebelum 1446 –tahun kejatuhan Campa ke tangan
Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke Jawa, Rahmatullah
memperkenalkan Islam kepada Raja Palembang, Arya Damar, pada 1440.
Perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam lawatan ke Jawa,
Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan
sahabatnya (Abu Hurairah).
Rombongan mendarat di kota bandar Tuban,
tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai Syekh Asmarakandi wafat.
Makamnya kini masih terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Sisa
rombongan melanjutkan perjalanan ke Trowulan, ibu kota Majapahit,
menghadap Kertawijaya. Di sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja
untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit.
Sebagai hadiah, ia diberi tanah di
Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan untuk dididik dan
mendirikan permukiman di Ampel. Meski raja menolak masuk Islam,
Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit,
asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit, Rahmatullah dinikahkan
dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban.
Sejak itu, gelar pangeran dan raden
melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan sebagai keluarga
keraton Majapahit. Ia pun makin disegani masyarakat. Pada hari yang
ditentukan, berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan,
melewati Desa Krian, Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di
sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus melakukan dakwah.
Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat
dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup mengimbali kipas itu
dengan mengucapkan syahadat. Pengikutnya pun bertambah banyak. Sebelum
tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun langgar (musala) sederhana di
Kembang Kuning, delapan kilometer dari Ampel.
Langgar ini kemudian menjadi besar,
megah, dan bertahan sampai sekarang –dan diberi nama Masjid Rahmat.
Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid
sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren,
mengikuti model Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya
mirip konsep biara yang sudah dikenal masyarakat Jawa.
Raden Rahmat memang dikenal memiliki
kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan akidah dan syariat sangat
memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ”salat” diganti dengan
”sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai musala, tapi ”langgar”, mirip kata sanggar. Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari shastri –orang yang tahu buku suci agama Hindu.
Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri
pada Raden Rahmat. Meski menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat
toleran pada penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa
saja. Dengan cara pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat
simpati kalangan luas. Dari sinilah sebutan ”Sunan Ampel” mulai populer.
Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ”Moh Limo”. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela. Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau mengisap candu), dan moh madon (tidak mau berzina). Falsafah ini sejalan dengan problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel sangat memperhatikan
kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan santrinya, ada yang kemudian
menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari perkawinannya dengan Nyai Ageng
Manila, menurut satu versi, Sunan Ampel dikaruniai enam anak. Dua di
antaranya juga menjadi wali, yaitu Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) dan
Sunan Drajat (Raden Qosim).
Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan
dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak menjadi sultan pertama Demak.
Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua
muridnya yang juga wali. Yakni Dewi Murtasiah, diperistri Sunan Giri,
dan Dewi Mursimah, yang dinikahkan dengan Sunan Kalijaga.
Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan
putra dan murid-mantunya yang juga para wali. Dalam hal menyikapi adat,
Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga
pernah menawarkan untuk mengislamkan adat sesaji, selamatan, wayang, dan
gamelan. Sunan Ampel menolak halus.
”Apakah tidak khawatir kelak adat itu
akan dianggap berasal dari Islam?” kata Sunan Ampel. ”Nanti bisa bidah,
dan Islam tak murni lagi.” Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan
Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus dan Sunan Bonang menyetujui Sunan
Kalijaga. Sunan Kudus membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki
Islam, dan yang sama sekali tidak.
Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih:
apakah adat bisa dijadikan sumber hukum Islam atau tidak. Meski
demikian, perbedaan itu tidak mengganggu silaturahmi antarpara wali.
Sunan Ampel memang dikenal bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena
itu, sepeninggal Maulana Malik Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali
Songo dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa.
Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang
memprakarsai pembentukan Dewan Wali Songo, sebagai strategi
menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut politik Majapahit. Namun,
mengenai tanggal wafatnya, tak ada bukti sejarah yang pasti.
Sumber-sumber tradisional memberi titimangsa yang berbeda.
Babad Gresik menyebutkan tahun 1481, dengan candrasengkala ”Ngulama Ampel Seda Masjid”. Cerita tutur menyebutkan, beliau wafat saat sujud di masjid. Serat Kanda
edisi Brandes menyatakan tahun 1406. Sumber lain menunjuk tahun 1478,
setahun setelah berdirinya Masjid Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat
Masjid Ampel, di areal seluas 1.000 meter persegi, bersama ratusan
santrinya.
Kompleks makam tersebut dikelilingi
tembok besar setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel bersama istri dan
lima kerabatnya dipagari baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar
seluas 64 meter persegi. Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi pasir
putih. Setiap hari, penziarah ke makam Sunan Ampel rata-rata 1.000
orang, dari berbagai pelosok Tanah Air.
Jumlahnya bertambah pada acara ritual
tertentu, seperti saat Haul Agung Sunan Ampel ke-552, awal November
lalu. Pengunjungnya membludak sampai 10.000 orang. Kalau makam Maulana
Malik Ibrahim sepi penziarah di bulan Ramadhan, makam Sunan Ampel justru
makin ramai 24 jam pada bulan puasa.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !